Jumat, 12 September 2014

Mata Rabun yang Lelah

Pagi masih begitu muda, mata ini masih gelap
Gelap bukan karena fajar, tapi aku buta
Tapi Sang Pembuat Hidup masih memberi anugrah pada mata ini
Aku bisa membedakan siang dan malam dari cahaya matahari
Tergagap-gagap mencari dian disebelah dipan bambuku
Sudah menjadi kebiasaanku saat bangun
Meski cahaya dian kecil ini tak berpengaruh apapun pada pengelihatanku
Paling tidak bisa memberi cahaya pada tikus dan nyamuk yang tinggal bersamaku
Mereka harus segera pergi mencari makan
Aku pun juga
Tenggok ini harus terisi penuh, agar perutku juga dapat terisi
Cukup jauh untuk dapat mengisi tenggok ini penuh dengan keong sawah
Mungkin sekitar 70 langkah
Ya, aku menghafalkan setiap langkahku
Entah mulai kapan aku hafal arah menuju ke sawah Pak Muju
Sesampainya di sawah tangan-tangan renta ini lalu meraba-raba di dasar lumpur
Mencari hewan bercangkang itu, tidak jarang aku tertipu oleh sebuah batu
Namun kelamaan aku hafal bentuk keong sawah dan dapat membedakannya
Punggungku sudak terasa nyeri, tandanya sudah cukup lama aku membungkuk
Benar saja, tenggokku sudah berat rasanya
Saatnya ke pasar untuk mengadu nasib
Perjalanan ke pasar tidak begitu jauh, tapi tetap lebih jauh ke pasar daripada ke sawah
Bayangan yang muncul di mata ini warnanya merah, berarti siang sangat terik
Tenggorokanku juga sudah kering
Lekas aku menuju ke pengepul langgananku di pasar
Kuserahkan setenggok keong ini dan kudapat upahku
Dengan selembar uang sepuluh ribu ditangan, aku pergi ke warung
Ya, aku tahu itu uang sepuluh ribu, aku percaya pada Pak Sarlan
Seberapapun aku bawa keong di tenggokku, dia memberiku uang sepuluh ribu
Itu sangat cukup untukku
Dua gelas beras dan sepotong tempe goreng bisa untuk dua sampai tiga hari
Sepulang dari pasar, tangan ini masih jahil memetiki daun singkong di sepanjang jalan
Itung-itung untuk mengisi tenggok agar tidak kosong
Dan  juga tambahan sayur untuk makan
Sesampainya dirumah aku kembali mencari dian
Karena sepertinya siang sudah hampir habis
Senja itu kumulai dengan menanak nasi, menggoreng tempe dan memasak sayur daun singkong
Sesegera mungkin kuselesaikan masakanku
Perut ini sudah keroncongan
Akhirnya, lidah ini bisa mengecap nikmatnya nasi
Memakan semua ini sendirian membuatku teringat pada Pak Mursidi, mendiang suamiku
Jika pak'e masih ada, pasti aku tidak sesusah ini
Pak'e meninggal karena kakinya lumpuh, tak tahu pasti apa penyakitnya
Kami memiliki dua orang anak, dan keduanya pun meninggal saat masih balita
Mereka cuma sakit panas, kukira masuk angin biasa tapi mereka meninggal
Setiap mengingat semua itu, aku menjadi sedih dan menangis
Aku ingat pesan ibuku, pamali makan sambil menangis
Lalu aku mengakhiri makanku yang tidak seberapa itu
Dan beranjak ke dipan bambu
Sekedar merebahkan badan yang renta ini
Mata rabunku juga lelah menemani perjalanan singkatku hari ini
Meski mata ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya
Tapi Yang Maha Kuasa memberi anugrah dibalik kelemahanku ini
Sembari merebah tidak lupa aku melafaskan "Alhamdulillah"